Senin, 30 Mei 2011

kehidupan Universitas di era Modernitas

(Gerard Delanty bab 8,9,10;
Key words: universitas, globaliasi, postmodernitas)

Perjalanan waktu memperlihatkan telah terjadinya perubahan posisi dan peran universitas dalam masyarakat. “Universitas klasik” berkerja dalam pola komunikasi tradisional, dimana kuliah dan dosen sebagai agen sosial, dan universitas memproduksi pengetahuan untuk lalu didistribusikan ke masyarakat. Dalam bentuk baru, universitas telah menjadi ideological asparatus. Perubahan ini adalah akibat dari globalisasi yang melalui perkembangan teknologi informasi, telah menjadikan pengetahuan mengalami depersonalisasi, deteritorialisasi, dan juga globalisasi. Universitas akhirnya menjadi subjek yang “mudah” ditekan.

Pada kondisi baru ini, dimana terbangun sistem birokrasi yang lebih independen, materi informasi lebih banyak dan berkembang sedangkan knowledge menjadi lebih sedikit. Perkembangan teknologi komunikasi yang dahsyat beberapa dekade terakhir telah melemparkan pengetahuan menjadi materi yang tanpa tempat (no place). Meskipun negara masih tetap sebagai aktor utama, namun eksploitasi ekonomi terhadap pengetahuan semakin nyata. Relasi tiga serangkai semakin mengkristal, yaitu relasi antara universitas, industri, dan pemerintah.

Peran universitas dalam globalisasi dan posmodernitas

Dalam bukunya, bab 8, Delanty memaparkan bagaimana perubahan universitas dalam menghadapi modernisasi dan globalisasi. Universitas berada dalam pusaran kekuatan dimana pengetahuan mengalami proses depersonalisasi, deteritorialisasi dan juga globalisasi. Kekuatan-kekuatan ini direspon universitas dengan merubah visi, peran dan struktur internalnya.

Kekuatan globalisasi telah mendorong transformasi diri universitas. Kapitalisme sebagai jiwa pokok yang mengglobal memaksa universitas menjadi kapitalisme akademis. Namun, meski universitas semakin sulit melepaskan diri dalam pusaran kapitalisme dan korporasi global, ia masih berupaya tetap menjadi agen penting bagi demokratisasi.

Dalam bab yang membahas globalisasi, triple helix dan kapitalisme akademis ini, Delanty memaparkan bagaimana perubahan teknologi membawa implikasi pada diri universitas. Lambat laun transformasi bentuk universitas semakin jelas dengan basis triple helix “universitas-industri-pemerintah”. Hubungan segitiga di antara ketiga institusi ini membelit univeritas semakin kuat, karena melibatkan banyak sekali dimensi kekuatan. Ia memiliki relasi yang kuat dengan industri, dan pada saat yang sama juga berrelasi baik dengan pemerintah. Dengan kekuatan ini universitas perlahan-lahan bergerak menuju dan menjadi aktor ekonomi global.

Perkembangan terakhir melahirkan apa yang disebut dengan “virtual university” yang semakin mengaburkan bentuk-bentuk universitas pola lama. Pengetahuan yang mengalami deteritorialized melahirkan cyber student, yaitu para pelajar dan mahasiswa yang didukung secara dominan oleh ketersediaan informasi melalui jejaring internet.
Masyarakat postmodernis tidak lagi terlalu membutuhkan pengetahuan. Informasi jauh lebih dibutuhkan dibandingkan pengetahuan karena masyarakat menjadi lebih pragmatis dan aplikatif. Universitas virtual eksis dalam kondisi knowledge society demikian. Delanty menyebut perubahan ini sebagai academis capitalism dimana universitas tidak lagi memproduksi pengetahuan namun hanya informasi. Kapitalisme akademik muncul karena universitas menjalin kerjasama pendanaan dari perusahaan yang berharap mendapatkan produk-produk baru melalui penelitian di universitas. Kapitalisme akademis ini pada akhirnya mengganggu otonomi pengetahuan dan kebebasan akademis.

Namun, menghadapi perkembangan yang sulit dielakkan ini, Delanty mengharap agar universitas tetap dan bahkan semakin banyak berperan dalam menciptakan knowledge society, serta harus mampu memberi arah model kultural pada kondisi perang kebudayaan (cultural wars) saat ini. Untuk itu, universitas harus mampu mereposisi diri sehingga dapat tetap bertahan. Sifat universitas dari dulu yang bercorak kosmopolitan jangan sampai menjadi institusi lokal belaka. Delanty mendukung peran universitas pada pembentukan masyarakat ilmiah, meskipun tantangannya semakin berat. Delanty ngin agar universitas jangan terbawa ke bentuk masyarakat informasi (information society). Universitas harus memberi arah dan menjadi pemimpin untuk menciptakan masyarakat berpengetahuan (knowledge society).
Tipe universitas abad ke-20 sudah sangat berbeda dengan tipe universitas abad ke-21 yang bertipe research and development. Pada tipe universitas yang baru ini terjadi pemisahan disiplin keilmuan, produsen pengetahuannya semakin homogen, metode benar maka hasil akan benar, dan adanya pemisahan basic dengan applied knowledge. Pada tipe baru ini, pengetahuan diciptakan bersama-sama dengan pengguna, tidak lagi didominasi intelektual.
Arus besar globalisasi membawa kosmopolitanisme. Globalisasi lebih dari sekedar membuat masyarakat global tetapi juga dapat memperkuat kekuatan lokal terhadap pusat nasional. Dalam konteks ini dapat kita temui gejala globalizatioan localisme dan localisation globalism. Banyak universitas terlibat politik dalam komitmennya pada konteks regional, nasional dan internasional. Menghadapi situasi ini, universitas semestinya memiliki kekuatan agar bisa lebih berperan dalam pengembangan ekonomi lokal dan regional.

Di sisi lain, globalisasi juga berdampak penting bagi universitas sebagai akibat meluasnya penggunaan teknologi informasi bagi penyebaran pengetahuan atau gejala transnasionalisasi pengetahuan. Globalisasi telah mendorong universitas mengadopsi nilai-nilai budaya korporasi industri dan semakin melayani pasar. Lingkungan postmoderen telah menjadikan visi pengetahuan sebagai meta narratif tidak lagi relevan. Hal ini disebabkan karena pengetahuan sekarang tidak lagi abstrak, metafisik dan emansipatoris. Masyarakat informasi telah memecah-mecah pengetahuan dengan mengkomodifikasi dan menjadikannya sebagai instrumen. Kekuatan narasi yang berfungsi mengintegrasikan telah hilang. Delegitimasi pegetahuan merupakan salah satu aspek yang paling nampak dari deligitimasi otoritas. Dalam kondisi pos-moderen ini, delegitimasi pengetahuan muncul akibat depersonalisasi pegetahuan.
Delanty berpendapat bahwa ada lebih banyak kekuatan yang membentuk universitas kontemporer. Universitas memang tidak lagi menjadi menara gading tetapi tetap menjadi institusi yang kuat di masyarakat dan akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah. Universitas tidak akan mengalami kemerosotan.

Dampak globalisasi telah berkerja secara nyata, dimana universitas terpaska menyerap nilai-nilai pasar, budaya manajerialisme, serta kapitalisme akademik. Kondisi ini melemparkan universitas menjadi tempat konflik identitas. Universitas telah menjadi situs perang budaya yang melibatkan identitas ras, etnisitas, agama dan gender. Globalisasi telah menimbulkan budaya kontra hegemoni, mengganggu kekuasaan negara, serta menguatkan masyarakat. Universitas kehilangann daya untuk mempertahankan nilai-nilai universalnya yang suci.
Universitas menjadi kancah konstestasi dan perjuangan budaya dan identitas. Berbagai perkembangan menjadi pemaksanya mislanya karena adanya erosi perbedaan konsep privat dan publik. Universitas terpaksa ikut mengatasi berbagai hal masalah yang dulu tergolong privat. Bersamaan dengan itu, muncul tantangan kewarganegaraan budaya terhadap kewarganegaraan sosial dan politisasi multikulturalisme. Universitas yang semula hanya fokus pada satu kultur, saat ini mesti berkerja dalam konteks multikulturalisme.

Delanty memandang negatif dan pesimis dengan perkembangan sosial dan kultural masyarakat postmodern, misalnya pada sisi penurunan moralitas. Untuk ini, universitas harus tetap mampu memberikan pencerahannya, dan tetap menjadi pelaku kultural yang penting. Delanty merasa universitas memiliki kapasitas dan hanya ia yang mampu menjalanan peran tersebut.

Bacaan:
Delanty, Gerard. 2001. Challenging Knowledge; The University in The Knowledge Society London: Open University Press.

******