Senin, 30 Mei 2011

Karakter Pengetahuan dan Rasionalitas Tindakan Ekonomi Petani

Kondisi yang Dihadapi

Dalam kegiatan pemberdayaan petani selama ini di Indonesia, mengorganisasikan petani secara formal dalam bentuk asosiasi-asosiasi merupakan pendekatan utama yang digunakan oleh hampir semua pelaku pemberdayaan di pedesaan, baik pemerintah maupun LSM. Mereka sebagai inisiator dan pendamping lapangan membangun kelompok-kelompok formal, baik baru ataupun memperbaiki yang lama, untuk menjalankan program-program pembangunan dan pemberdayaan di pedesaan. Peserta program disyaratkan untuk berkelompok, dimana kelompok menjadi alat untuk mendistribusikan bantuan (material atau uang tunai), dan sebagai wadah untuk berinteraksi baik antar peserta maupun dengan pelaksana program. Untuk mewujudkan pendekatan ini, telah dihabiskan anggaran dan tenaga lapang yang cukup besar, namun hasilnya tidak sebanding. Hasil yang dicapai tidak sebanding dengan usaha yang telah dilakukan.

Pola seperti ini digunakan oleh berbagai departemen, termasuk di Departemen Pertanian. Kegiatan pembangunan pertanian yang salah satunya berupa pemberdayaan petani dan keluarganya hampir selalu menggunakan pendekatan dengan membentuk organisasi formal petani. Dari empat kegiatan saat ini (P4K, PIDRA, P4MI dan Primatani) yang dijalankan Deptan beberapa tahun terakhir, selalu dimasukkan komponen penguatan organisasi lokal. Keempat kegiatan menjadikan pengembangan organisasi petani sebagai prasyarat dalam kegiatanny. (Badan SDM Deptan, 2007; Balitbangtan, 2006).

Fakta yang dihadapi adalah, kelompok-kelompok bentukan tersebut tidak berkembang sesuai harapan, sehingga tidak mampu mendukung pencapaian tujuan program secara keseluruhan. Lemahnya keorganisasian petani tersebut bahkan telah menjadi faktor utama yang menyebabkan kegagalan pelaksanaan program secara keseluruhan (PSEKP, 2006). Hal ini karena terbentuknya asosiasi-asosiasi petani merupakan prasyarat utama dalam rancangan kegiatan secara keseluruhan.

Berbagai sumber menyebutkan bahwa kondisi dan permasalahan seperti ini relatif serupa di banyak belahan dunia (Grootaert, 2001). Pengalaman berbagai lembaga membuktikan berbagai kelemahan pendekatan selama ini dalam pengembangan kerganisasian petani. Penyebab yang sudah berhasil diidentifikasi cukup beragam. Taylor dan Mckenzie (1992) menyebutkan, salah satu penyebabnya adalah karena kurang dihargainya inisiatif lokal dalam penguatan keorganisasian petani. Sesuai dengan prinsip kemandirian lokal, organisasi petani seharusnya dibangun dan dikelola dengan lebih mengedepankan partisipasi dan dialog dibandingkan semangat pengendalian yang ketat sebagaimana dipraktekkan selama ini (Amien, 2005).

Pada hakekatnya, sampai saat ini, apa penyebab kegagalan tersebut belum banyak disadari dan dipahami sepenuhnya. Secara umum, kegagalan pengembangan kelompok tersebut disebabkan oleh dua aras utama yaitu pada pihak pelaku pengembangan dan dalam diri masyarakat desa itu sendiri. Kegagalan seperti ini selalu terjadi semenjak era Bimas tahun 1970-an sampai sekarang yang menggunakan pendekatan ”pemberdayaan” (empowerment) dan ”pengembangan komunitas” (community development). Ironisnya, berbagai kebijakan baru misalnya berupa undang-undang dan peraturan menteri masih tetap menjadikan organisasi formal sebagai keharusan.

Kekeliruan ini berakar dari pengetahuan dan paradigma yang kurang tepat karena lemahnya pemahaman terhadap desa dan masyarakatnya. Mereka telah jatuh dalam berbagai perangkap prasangka (Chambers, 1987; Nordholt, 1987). Pihak luar cenderung bersikap kurang kritis terhadap masyarakat desa.

Di sisi sebaliknya, saat ini masyarakat pedesaan telah berkembang sedemikian rupa dimana peningkatan pendidikan, ekonomi dan politik lokal telah membentuk suatu karakter sosial, ekonomi, dan politik tersendiri. Mereka mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dan sekaligus memaknai kondisi yang dihadapi berdasarkan pengetahuannya tersebut. Semestinya, dibutuhkan pengembangan keorganisasian yang sesuai, termasuk keorganisasian di bidang ekonomi. Ekspansi ekonomi pasar ke pedesaan membutuhkan bentuk-bentuk pengorganisasian mayarakat yang efisien dan mampu bersaing, serta harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik komoditas yang dikembangkan serta karakter pasar yang berkembang. Rekayasa kelembagaan (dengan membangun organisasi-organisasi) pada tingkat petani, baik sebagai pembudidaya, pengolah, maupun pelaku pemasaran; membutuhkan pemahaman secara sosiologis yang mendalam. Keorganisasian seperti apa yang sesungguhnya sesuai bagi mereka perlu dipelajari dengan memahami pengetahuan dan cara berfikir petani itu sendiri secara langsung.

Dalam menjalankan agribisnis, petani menjalin relasi-relasi dengan berbagai pihak. Relasi tersebut dapat berupa relasi horizontal yaitu dengan sesama petani, dan relasi vertikal dengan pemasok sarana produksi, permodalan, dan teknologi serta dengan pelaku pengolahan dan pedagang hasil pertanian. Dalam setiap relasi petani memiliki dua pilihan yaitu relasi yang bersifat individual atau relasi kolektif dalam bentuk aksi kolektif. Pertimbangan yang dipakai petani adalah manakah pola relasi yang efisien dan efektif untuk menjalankan usaha pertaniannya. Hal ini berbeda dengan keyakinan pihak luar (misalnya tenaga lapang pemerintah), dimana relasi kolektif dalam organisasi formal diyakini pasti lebih baik. Ketidaksamaan persepsi – karena perbedaan pengetahuan - inilah yang menarik dipelajari yang mungkin menjadi penyebab utama pemborosan dan kesia-siaan selama ini. Pengetahuan tentang bagaimana petani mengkonstruksi jaringan relasinya dan rasionalitas di baliknya, merupakan pengetahuan yang sangat berguna untuk memperbaiki pendekatan pemberdayaan di masa mendatang.

Pengetahuan Petani sebagai objek Sosiologi Pengetahuan

Secara sederhana, sosiologi pengetahuan dapat dimaknai sebagai upaya menjadikan pengetahuan sebagai objek perhatian dengan menerapkan perspektif sosiologi. Menurut Dant (1991), pengetahuan merupakan key factor dalam masyarakat. Ia merupakan komponen sehingga sekelompok orang layak disebut ‘masyarakat”. Sosiologi pengetahuan adalah suatu perspektif yang menekankan tentang karakter sosial dari pengetahuan. Ia merefleksikan nilai-nilai dalam masyarakat yang ditransfer melalui diskursus. Dalam bidang ini dipelajari bagaimana hubungan antara pengetahuan dan masyarakat, yaitu bagaimana pengetahuan diproduksi, didistribusi dan direpoduksi di tengah masyarakat melalui relasi-relasi sosial.
Secara sadar atau tidak, objek sosiologi pengetahuan telah menjadi perhatian para ahli sosiologi semenjak era sosiologi klasik. Comte misalnya memaparkan bahwa pengetahuan dan masayarakat saling mempengaruhi secara timbal balik. Karena relasinya yang timbal balik, maka pola-pola pengembangan masyarakat tercermin pula dari pola-pola pengetahuan yang dominan. Menurut Comte, pengetahuan bermula dari bentuk-bentuk teologis, berlanjut menjadi metafisik, dan akhirnya menjadi positivistik. Pada era teologis benda-benda merupakan sumber pengetahuan. Pembabakan ini hanya melihat modus intelektual yang dominan, karena sedikit banyak tipe pengetahuan yang tahayul misalnya masih tetap ada dalam satu masyarakat meskipun perkembangannya telah lanjut. Selanjutnya Emile Durkheim, sebagaimana ide dasarnya “fakta sosial”, ia melihat bahwa pengetahuan dibentuk dalam relasi yang intersubjektif. Pengetahuan merupakan sesuatu yang berada di luar kontrol individu, dan melekat padanya berbagai atribut lain karena ia merupakan fakta sosial.
Marx dengan ide besarnya tentang kelas dan mode of production, berpendapat bahwa pengetahuan berkaitan dengan relasi produksi, dan ia pun menjadi modes of production.

Relasi kelas yang eksis dapat dilihat juga sebagai sebuah relasi pengetahuan. Dengan kata lain, pengetahuan ada dalam modes of production, sebagai modal untuk memperoleh ekonomi. Di sisi lain, pengetahuan juga menjadi dasar untuk menjalankan modes of production tersebut.
Sosiologi pengetahuan menurut Mannheim (dalam Dant, 1991) adalah studi secara sistematis terhadap pengetahuan, gagasan, dan fenomena intelektual secara umum. Mannheim mengaitkan gagasan tentang kelompok dengan pandangan tentang kelompok dalam struktur sosial. Meskipun Karl Mannheim dikenal sebagai tokoh utama yang membangun fondasi kerangka teori sosiologi pengetahuan, namun sosiologi pengetahuan semakin memperoleh perhatian besar di Amerika ketika Peter L. Berger dan Thommas Luckmann menulis buku “Social Construction of Reality”. Berger dan Luckman memaknai pengetahuan sebagai hal-hal yang dianggap bernilai dan bermanfaat untuk memecahkan masalah individu.

Berger dan Luckmann (1979) mengupas tentang adanya dua objek pokok yaitu realitas objektif sebagai fakta sosial dan realitas subjektif berupa pengetahuan. Ada hubungan dialektis antara realitas objektif dengan realitas subjektif. Realitas subjektif berupa pengetahuan individu akan berproses menjadi realitas objektif yakni ketika menjadi pengetahuan bersama. Dalam proses ini, bisa terjadi realitas subjektif yang dinegosiasikan dan ada pula yang dipaksakan. Realitas objektif berlaku umum, dan sebagai fakta sosial ia memiliki kemampuan memaksa, sebagaimana hukum fakta sosial menurut Durkheim.

Ada kaitan antara pengetahuan dan kehidupan dan kesalingketerkaitan antara pikiran dan tindakan. Dengan demikian, pengetahuan tidak pernah merupakan produk sosial yang bebas dari unsur-unsur nilai dan kepentingan, karena ia selalu berkait dengan keanggotaan kelompok dan lokasi dari individu-individu. Sementara, “realitas” adalah suatu kualitas yang terdapat dalam berbagai fenomena yang mempunyai level keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia. Dalam konteks ini, pengetahuan menjadikan fenomena-fenomena tadi itu menjadi real dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik. Kenyataan sosial adalah hasil eksternalisasi dari internalisasi dan obyektivasi manusia terhadap pengetahuan dalam kehidupan sehari-sehari. Proses eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of knowledge yang dimilikinya.

Pada intinya, sosiologi pengetahuan menganalisis berbagai hal yang dimaknai sebagai pengetahuan dalam masyarakat dan berusaha memahami bagaimana proses-proses itu berlangsung. Dapat dikatakan, sosiologi pengetahuan melakukan analisa pembentukan kenyataan oleh masyarakat (social construction of reality). Dalam hal ini, dunia ide (pengetahuan) menjadi penentu dunia materi.

Sosiologi pengetahuan, dalam pemikiran Berger dan Luckman (1979), memahami dunia kehidupan selalu dalam proses dialektis, antara the self (individu) dan dunia sosio kultural. Proses dialektis itu mencakup tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk manusia), objektivasi (interaksi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi), dan internalisasi dimana individu-individu mengidentifikasi melalui lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat ia berada. Dari proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan tadi dan ditambah adanya legitimasi, maka kenyataan sosial telah menjadi suatu konstruksi sosial ciptaan masyarakat itu sendiri.

Kehidupan sehari-hari menyediakan dan menyimpan kenyataan termasuk pengetahuan. Ia menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menampilkan realitas obyektif yang lalu diberi berbagai makna subyektif. Namun, kehidupan sehari-hari juga merupakan suatu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan individu, dan dipelihara sebagai hal yang “nyata” oleh pikiran dan tindakan tersebut.
Berger dan Luckmann menjadikan interaksi sosial sebagai perhatian pokok sosiologi. Interaksi ini melibatkan hubungan individu dengan masyarakat, dimana individu senantiasa bertindak secara aktif. Tindakan individu dilandaskan pada makna-makna subyektif yang dipercayai dan dipegang aktor tentang tujuan yang hendak dicapainya, cara atau sarana untuk mencapai tujuan, dan situasi serta kondisi yang melingkupi pada sebelum dan/atau saat tindakan itu dilaksanakan.

Realitas sosial berupa pengetahuan yang bersifat keseharian seperti konsep, kesadaran umum dan wacana publik merupakan hasil konstruksi sosial. Kenyataan itu sendiri bersifat plural, dinamis dan dialektis. Pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari terdistribusi secara sosial, yang mana ditentukan oleh tipe individu. Struktur relasi yang dijalankan sehari-hari merupakan struktur pendistribusian pengetahuan pula. Struktur itulah yang menjadi media atau saluran pengetahuan sehingga pengetahuan terdistribusi secara horizontal maupun antar generasi.

Pengetahuan merupakan basis bersikap dan bertindak individu maupun kelompok. Karena itulah, dalam kegiatan pemberdayaan, berbagai aktivitas berkenaan dengan pengetahuan merupakan satu hal esensial, yaitu berupa pengalihan, peningkatan, maupun penggunaan pengetahuan sebagai alasan untuk berpartisipasi. Dalam penelitian Dewulf et al. (2005), dari suatu aktivitas pemberdayaan, diketahui bahwa pengetahuan terbuka (explicit knowledge) maupun tertutup (tacit knowledge) telah berhasil saling dipertukarkan antar pelaku. Pengetahuan tentang panduan untuk organisasi irigasi dibawa oleh NGO dipertemukan dengan ilmu teknik dari universitas. Berbagai pengetahuan yang selama ini tersimpan (tacit knowledge) yang dimiliki berbagai komunitas petani pun berhasil dibongkar atau diekternalisasi (externalized). Pertukaran pengetahuan berjalan melalui dua arah, yaitu pihak pengguna atau petani menjadi paham bagaimana pihak ahli teknik memaknai software, dan pihak pembangun software juga tahu apa harapan pengguna terhadap software tersebut.
Dijumpai pula bagaimana akhirnya interaksi antar pihak semakin menjadi logis dari waktu ke waktu. Peran universitas yang semula hanya penelitian di bidang software (general ‘research on’ software), berubah menjadi posisi “meneliti dengan” (‘research with’). Terjadi proses refleksi bersama (joint reflection), pembangunan bersama (joint development) dan pengujian bersama (joint testing) dari teknologi yang akan digunakan. Komunikasi berlangusng melalui beragam jenis event mulai dari berupa rapat biasa, saat memasang instalasi, dan berkerjasama di depan komputer. Berlangsungnya praktek bersama melalui relasi yang berkualitas telah memungkinkan mengkomunikasikan secara langsung pengetahuan-pengetahuan yang tersembunyi, serta memungkinkan mengkomunikasikan pengetahuan yang terbuka.

Ditemukan pula bagaimana telah terjadi peningkatan transformasi kerja sebagai stakeholders yang menemukan konteksnya dalam penciptaan pengetahuan, serta menjembatani batas keterlibatan komunitas dalam praktek. Ini terjadi melalui proses eksternalisasi pengetahuan-pengetahuan yang berguna (externalizing mutual knowledge) dan membagi pengetahuan dengan terlibat dalam praktek-praktek sehari-hari dengan memperhatikan kualitas hubungan (quality of relationships).

******