Rabu, 09 Maret 2011

Teori-Teori Postmodern

Sebelum di bidang sosiologi, istilah postmodern sudah lama dipakai di dunia lain misalnya seni dan arsitektur, serta mempengaruhi banyak sekali bidang pemikiran termasuk fislsafat. Postmodernisme merupakan produk kultural yang dipandang sangat berbeda dengan produk kultural modern.. Pandangan lain malihat bahwa produk-produk baru ini telah menggeser produk kultural lama. Dalam paper ini, yang disusun dari tiga bahan tulisan, dipaparkan relasi postmodernisme dengan sosiologi, dan dilanjutkan dengan berbagai teori sosiologi yang tumbuh dan tergolong dalam sosiologi postmodernisme.

Postmodernisme dan Sosiologi

Pada hakekatnya, mulai dari era sosiologi klasik, sosiologi dikembangkan untuk menerangkan (dan mengarahkan) masyarakan modern. Ia berupaya menjelaskan dunia modern, yaitu dunia Eropa dan Barat yang muncul karena kapitalisme industri. Dengan munculnya bentuk masyarakat ”baru”, yang disebut dengan masyarakat postmodernis, maka ilmu sosiologi mesti ”mengikuti” dengan memberi penjelasan-penjelasan baru. Namun, disamping menjelasakan apa dan bagaimana masyarakat postmodern, sosiologi juga telah ”mengabarkannya” dengan menyebutkan bahwa telah muncul jenis masyarakat baru yang tidak bisa lagi dijelaskan dengan konsep dan teori lama.
Menurut Ritzer, teori sosial postmodern menunjukkan adanya tantangan baru. Beberapa teori pokok dalam sosiologi telah ditolak karena dipandang tak lagi mampu menjelaskan perkembangan baru ini. Kehadiran teori postmodern tidak dapat ditolak lagi keberadaannya.
Dari sisi teori, jika teori modern berupaya membangun landasan universal, ahistoris, dan rasional; teori postmodern mempertanyakan landasan-landasan tersebut. Alsannya adalah karena landasan-landasan tersebut tidaklah netral. (Demikianlah pula kritik teori postkolonial, karena pandangan ilmuwan Barat yang cenderung bias melihat masyarakat Timur).
Postmodernis menolak narasi besar atau metanarasi. Salah seorang tokohnya, yakni Lyotard, menyebutnya dengan totalitas dan mengajak lebih pada perbedaan. Banyak pandangan yang menyebut bahwa telah terjadi kehancuran radikal, dimana masyarakat modern telah digantikan masyarakat postmodern. Pendapat yang lebih lunak meyakini bahwa meskipun telah terjadi perubahan, tapi apa yang berkembang merupakan kelajutan dari masyarakat sebelumnya. Ada kontinyuitas dari banyak aspek dalam masayarakat modern yang masih ditemui di masyarakat postmodern.

Menurut Turner (1998), postmodern menggunakan dua tema, yakni sosiologi kritik sebagai sebuah ilmu, dan robohnya modernitas sebagai simbol kultural yang merubah organisasi sosial dan relasi individu dengan dunia sosial.
Postmodern menyerang keyakinan modernitas terhadap ilmu. Kritiknya berkenaan dengan pengetahuan manusia berkenaan dengan tiga hal, yaitu: (1) masalah representasi, apakah bahasa mampu membantu pemahaman kita tentang realitas, (2) masalah kekuasaaan dan vested interest, karena terbukti ilmu tak berkembang secara netral dan karena itu ilmu mesti dipahami dalam konteks kulturalnya, dan (3) masalah kontinyuitas, karena ada diskontinyuitas dalam pengetahuan.

Berkenaan dengan konteks ini, Turner menyebut beberapa ahli yang intinya adalah untuk memperlihatkan bahwa masyarakat postmodern perlu dilihat secara baru, yakni dengan sosiologi post modernisme. Sebagian besar berkutat pada bahasa dan teks.
JF Lyotard misalnya menyumbangkan pemikirannya dimana bahasa sebagai game. Ia melihat pada fungsi bahasa dan cara game dimainkan. Seperti halnya game, bahasa juga memiliki kreasi yang otonom. Lyotard membandingkan bentuk naratif pengetahuan yang deskriptif dengan denotatif keilmuan. Ia menginterpretasi kedudukan dan perkembangan pengetahuan, pendidikan, sains, dan teknologi dalam masyarakat postmodern. Menurut Lyotard, posmodernisme adalah kondisi ketidakpercayaan sosial atas metanarasi yang diartikan sebagai cerita atau teori keseluruhan tentang sejarah dan tujuan dari manusia yang menjadi dasar dan pengabsahan pengetahuan dan praktik budaya. Ia mengkontraskan dengan pendekatan filsafat sosial klasik seperti Hegel dan Marx.

Selanjutnya Richard Rorty memandang bahwa realitas adalah sesuatu di luar sana (out there). Bahasa dipakai agar dapat melihat realitas secara objektif, untuk merepresentasikannya. Masalahnya, bahasa tidak akan mampu lebih objektif, malah ia mendekonstruksi realitas. Menurutnya, kebenaran bagi kalangan postmodernis adalah kebenaran yg bersifat kontekstual dan plural. Banyak nilai kebenaran di dunia, namun dalam memilih kebenaran perlu diawali dengan refleksi kritis, dan selanjutnya suatu saat harus siap menggantinya jika ternyata kebenaran lain yg baru ditemukan. Ia dapat disebut sinis terhadap semua bentuk klaim kebenaran.

RH Brown juga melihat sosiologi sebagai teks. Ia meyakini, bahwa baik realitas sosial, kultur, dan ilmu sosial; adalah konstruksi linguistik. Karena itu, ia mengusulkan ”realisme simbolik” untuk menyingkap tabir apa yang ada di belakang realitas. Meskipun yang dijadikan objek adalah suatu aktivitas komunikasi, namun di belakangnya terdapat basis ideologi, pandangan, serta bentuk-bentuk linguistik.
Demikian pula Charles Lemert yang melihat bahwa ilmu sosial kurang mampu menjelaskan dibandingkan dengan diskursus teks. Realitas empiris, sebagaimana teks, adalah sesuatu yang juga dikonstruk.

Kritik terhadap teori postmodernisme juga telah banyak dilontarkan. Salah satunya adalah pertanyaan tentang alasan kesahihannya karena mereka tidak memiliki basis normatif yang dapat digunakan untuk menyusun suatu penilaian. Pertanyaannya adalah: apakah “post” menandai sebuah perubahan pemikiran yang pascastruktural atau sekedar ingin bersikap dekonstruksi belaka? Meskipun mereka mengkritik masyarakat modern dengan sangat keras, tapi masyarakat ideal bagaimana yang mereka “usulkan” tidak pernah muncul dalam penjelasannya. Berbagai kritik terhadap teori post modrnisme disebut Ritzer dengan “Teori Post-postmodernisme”.

Di sisi lain, tumbuhnya wacana postmodernisme di kalangan peneliti budaya memang masih kontroversial. Di satu pihak ada hasrat menemukan perubahan pemahaman, dari modern ke sesuatu yang beda, karena yang modern dianggap telah jenuh dan buntu. Di lain pihak, masih ada keraguan di sebagian ahli, karena postmodernisme dianggap masih sekedar konterproduktif belaka. Paham ini menyebabkan postmodernisme masih tetap goyah. Alasan ini pula yang membuat sebagian kalangan belum mengakui postmodernisme - dan tentunya sosiologi postmodernisme - secara akademik.

Teori-Teori Postmodernisme

Menurut Turner (1998), teori sosiologi tentang psotmodernisme dapat dipilah menjadi dua, yakni yang lebih melihat dari akibat perubahan berbagai aspek ekonomi dan satu lagi dari sisi kultural. Berbeda dengan ini, Ritzer melabeli dengan yang moderat dan radikal. Frederic Jameson yang melihat dari perubahan setruktur ekonomi digolongkan sebagai moderat, sedangkan yang radikal adalah Jean Baudrillard yang dalam Turner digolongkan sebagai teoritis kultural.
Fredric Jameson melihat masih ada kontinyuitas antara modernitas dengan postmodernitas. Ada persambungan antara keduanya. Dunia kapitalisme saat ini memasuki masa akhirnya, meskipun memang telah menumbuhkan logika kultural baru, yakni postmodernisme. Meskipun kulturalnya berubah namun struktur ekonomi yang terjadi masih dengan basis pola yang lama. Ia melihat sekaligus sisi positif dan negatif dari postmodernitas.
Ia menemukan ada tiga tahapan dalam kapitalisme yang dimulai dengan kapitalisme pasar, diikuti dengan lahirnya jaringan kapitalis global, dan akhirnya kapitalisme akhir dengan semakin bebasnya pergerakan modal di seluruh dunia. Perubahan dalam struktur ekonomi ini memperngaruhi pula pada bentuk-bentuk kultural. Satu ciri kultural baru adalah elemen yang lebih heterogen. Tidak terjadi dominansi satu kultur tertentu, namun ada banyak kekuatan yang saling hadir secara bersamaan.

Jameson menunjukkan suatu upaya besar untuk merevitalisasi Marxisme dengan cara membangun sintesis antara wacana posmodernisme dan Marxisme. Ia melihat posmodernisme sebagai totalitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan sejarah yang menandai gejala-gejala sosial mutakhir sejak 1950-an seiring dengan munculnya struktur masyarakat baru dengan nama beragam.
Sebaliknya, Jean Baudrillard berpandangan lebih ekstrem. Ia mengusulkan pertukaran simbolis sebagai pengganti pertukaran ekonomi. Dalam pertukaran simbolis, kedua pihak berperan sama kuat. Setiap orang melakukan dua proses timbal balik sekaligus. Gagasan pertukaran simbolis ini berbeda sekali dengan pertukaran dalam kapitalisme. Masyarakat tidak lagi hanya didominiasi oleh produksi, namun oleh berbagai kekuatan lain yakni media, informasi, hiburan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Baudrillard meyakini telah terjadi peralihan dari masyarakat yang didominasi oleh ”mode produksi” ke ”kode produksi”.

Timbul pertanyaan penting, apakah teori postmodern merupakan teori sosial? Pertanyaan ini timbul karena kalangan postmodernisme menolak ”penjelasan besar”, padahal syarat pokok sebuah teori adalah kemampuannya memberi narasi besar untuk fenomena sosial. Namun, sesuai dengan syarat-syarat sebuah teori, apa yang ditawarkan Baudrillard menurut Ritzer dapatlah disebut sebagai teori sosiologi.

Satu teoritisi lain adalah Zygmunt Bauman (dalam Seidman, 2008), yang mempelajari dampak deinstitusionalisme makna tentang diri yang khaos, random, dan terdiferensiasi. Ia menyusun sosiologi postmodernisme dari poststruktural Perancis dan teori kritis Jerman. Ia mengkritik pandangan orang tentang ”pencerahan”. Baginya pencerahan telah memunculkan alasan legislatif, yakni peningkatan individualitas, pluralisme dan menolak keraguan dan ketidaktentuan (uncertainty).
Dalam masyarakat postmodernisme, katanya, tidak lagi dibutuhkan legitimasi intelektual dan juga negara. Masyarakat menjadi semakin tergantung kepada pasar. Basis gaya kehidupan telah beralih ke konsumsi. Negara juga tak lagi terlalu membutuhkan intelektual. Namun, postmodernisme masih melanjutkan beberapa sisi modernisme yakni nilai-nilai pilihan, diversitas, kritis dan refleksif. Dalam postmodernisme, dianut paham pluralisme pengetahuan. Dalam masyarakat postmodern, sosiologi tidak lagi dibutuhkan untuk legislasi sosial order dan norma kultural. Sosiologi baru harus mampu memfasilitasi pemahaman bersama dan harus pula lebih interpretatif.

Daftar Pustaka

Ritzer, George. 1996. Sociological Theory. Mc-Graw Hill Publication International. Edisi keempat.
Seidman, Steven. 2008. Contested Knowledge: Social Theory Today. 4th edition. Blackwell Publishing, Australia.
Turner, Jonathan H. 1998. The Structure of Sociological Theory. Sixth edition. Wardsworth Publishing Company, USA.

*****