Rabu, 09 Maret 2011

Teori-Teori Modernitas

Lahirnya masyarakat modern merupakan objek perhatian pokok dalam sosiologi. Berbagai teori mulai dari klasik sampai modern sesungguhnya merupakan upaya untuk menjelaskan masyarakat ini. Perubahan yang dialami masyarakat modern karena perkembangan teknologi dan komunikasi menarik perhatian kalangan ahli sosial.

Modernitas pada Sosiologi Klasik

Sosiologi klasik mempelajari bagaimana masyarakat modern melalui analisis komparasi dengan masyarakat pra modern, atau sering disebut dengan masyarakat tradisionil. Marx melihat masyarakat modern dari perspektif ekonomi kapitalisnya, Weber melihat adanya perubahan rasionaliasi menjadi rasionalisasi formal, dan Durkheim melihat adanya peningkatan solidaritas organik dan menurunnya kesadaran kolektif. Selain sisi yang menjanjikan, ketiga ahli ini juga mengkhawatirkan arah dan sisi negatif masyarakat modern. Marx melihat pada alienasi dan eksploitasi yang dialami kalangan buruh, Weber mengkhawatirkan penjara besi rasionalitas (iron cage rasionality), sementara Durkheim mengkhwatirkan anomie yang dialami masyarakat karena begitu cepatnya perubahan yang tidak selalu bisa diikuti oleh semua orang.
Berbeda dengan ketiga sosiolog klasik ini, Simmel mempelajari sekaligus masyarakat modern dan post mdern. Ia bertolak dari bagaimana masyarakat kota berjalan dan juga tentang ekonomi uang. Kota menjadi objek pokoknya karena disinilah terjadi intensitas tertinggi dari modernitas.


Berbagai Teori Modernitas

Dalam bagian ini diangkat beberapa pemikir modernitas yakni Giddens, Ulrich Beck, Ritzer, Bamuan dan Habermas. Anthony Giddens yang terkenal dengan teori strukturasinya menjelaskan dunia modern dengan konsep “juggernaut”. Juggernaut adalah sebuah mesin dengan kekuatan yang kadangkala sulit dikontrol. Ia menyebutnya sebagai runaway world dimana berlangsung peningkatan yang besar dalam kecepatannya (pace), luas lingkupnya, dan tingkat perubahannya.
Giddens menggambarkan modernitas dalam empat institusi dasar. Sistem kapitalis dicirikan oleh adanya produksi komoditas, penguasaan kapital secara privat, penggunaan tenaga kerja, dan munculnya sistem kelas. Industrialisme melibatkan penggunaan sumber kekuasaan yang mematikan dan mesin untuk memproduksi barang. Namun, hal ini juga mempengaruhi transportasi, komunikasi, dan kehidupan sehari-hari. Pengawasan merefer pada aktivitas dari populasi dalam kehidupan politik. Empat karakter dasar di atas dikontrol oleh negara dengan kekerasan (violence by the state).
Modernitas menjadi sangat dinamis karena tiga proses. Waktu dan tempat yang merefer pada kecenderungan meningkatnya relasi-relasi modern yang semakin meningkat jaraknya. Berkaitan dengan ini, relasi sosial juga diangkat dari konteks lokal interaksi dan restrukturisasi antar waktu-tempat yang semakin sulit dibatasi (indefinite). Dalam kondisi demikian, kepercayaan menjadi semakin penting karena informasi lengkap tentang fenomena sosial tidak lagi dapat diperoleh.
Refleksitas (reflexivity) bermakna bahwa praktek sosial masyarakat modern secara konstan merupakan proses pembaruan (reexamined) dan penyusunan kembali (reformed) dalam kebenderangan informasi. Modernitas dalam konteks ini menjelaskan tentang dunia moden atau teori tentang dunia modern.
Giddens juga berfikir bahwa modernitas telah menciptakan secara nyata suatu kondisi resiko. Resiko menjadi mengglobal secara intensif dan ekspansif yang mempengaruhi begitu banyak orang di seluruh dunia. Kesadaran kita tentang resiko memberi kita perasaaan tidak aman yang lalu mempengaruhi pada ” juggernaut”. Giddens meyakini bahwa modernitas menimbulkan kecenderungan pada diri dan formasi identitas. Relasi yang intim telah merupakan hal yang terpisah dari kehidupan rutin, dan dari konteks isu moral yang lebih lebar.
Masyarakat beresiko (The Risk Society), sebagaimana pendapat Ulrich Beck, adalah bentuk pergeseran baru dari masyarakat industrial. Ini merupakan bentuk masyarakat akibat refleksif modernitas (reflexive modernity), yakni bagaimana resiko dihalangi, diminimalkan, atau disalurkan. Resiko diproduksi dari sumber-sumber kesejahteraan di masyarakat modern dari berbagai aktivitas kehidupan.

Ritzer memberikan sumbangan yang dapat disebut unik dari teori modernitas, dimana ia menggambarkan masyarakat modern sebagai sebuah tatanan konsumsi. Masyarakat modern ditinjaunya dari bagaimana masyarakat tersebut mengkonsumsi, dan bagaimana kultur konsumen memberi warna yang khas pada masyarakat modern.
Teori ini dikembangkan Ritzer dengan bertolak dari konsep rasionalitas Weber. Ada empat dimensi tentang reasional formal dalam teori Ritzer, yaitu: efisiensi yang berupaya mencari cara terbaik untuk mencapai hasil, adanya predikatabilitas, sistem rasional yang lebih menekankan pada kuantitas dibandingkan kualitas, dan perhatian pada non ekologi manusia yang lebih dibandingkan kualitas. Namun, rasional formal memiliki variasi pada keirasionalan, seperti dehumanisasi dan demistifikasi.
Restauran cepat saji (fast-food) menjadi studi kasus Ritzer dalam menggambarkan dunia modern, yang menerapkan manajemen yang rasional dan efisien. Pola seperti ini diadopsi oleh masyarakat modern, yang juga tergambar dalam berbagai bentuk aktivitas lain misalnya di kantor-kantor.

Zygmunt Bauman mempertimbangkan holocaust sebagai paradigma birokrasi rasional modern. Pemusnahan bangsa Yahudi dijalankan dalam birokrasi yang sedemikian dengan menerapkan prinsip-prinsip modern. Kejadian ini dianalisis Bauman sebagai sebuah bentuk rasionalitas dalam dunia modern pula. Bauman juga melihat begitu kuatnya globalisasi. Ia menduga bahwa yang akan menang dalam kondisi ini adalah mereka yang dapat bergerak bebas di seluruh dunia. Merekalah yang pada akhirnya dapat memetik manfaat terbanyak dari fenomena globalisasi.
Menurut Jurgen Habermas modernitas merupakan proyek yang tidak memiliki akhir. Ia percaya bahwa sistem sosial tumbuh semakin kompleks, terdiferensiasi, terintegrasi, dan dicirikan oleh alasan-alasan instrumental. Saat bersamaan, kehidupan dunia juga dapat disaksikan dengan meningkatnya diferensiasi dan kondensasi, sekularisasi, dan pelembagaan norma yang refleksif dan kritis. Masyarakat rasional menjadi satu yang mencakup sistem dan kehidupan dunia yang rasional mengikuti logika mereka sendiri. Sistem semakin didominasi oleh kehidupan dunia (life-world). Habermas mengedepankan post modernis sebagai bentuk penolakannya pada masyarakat modern.

Informasionalisme dan masyarakat berjaringan (netwok society) dari Manuel Castells memberi perhatian pada masyarakat baru, kultur, dan ekonomi yang berlangsung dalam revolusi teknologi informasi. Revolusi ini telah mendorong pada restrukturisasi sistem kapital. Penyebaran kapitalisme informasi menyebabkan munculnya gerakan sosial oposisi yang didasarkan diri dan identitas. Menemani kemunculan ekonomi informasi global baru, adalah bentuk keorganisasian baru yang disebut dengan perusahaan jaringan (the network enterprise) yang dicirikan oleh produksi yang fleksibel, sistem manajemen baru, dan organisasi yang berbasiskan horizontal lebih dari pada vertikal, dan kemunculan banyak perusahaan dengan aliansi strategis. Hasilnya adalah sifat pekerjaan yang menjadi lebih bertransformasi.
Castells menilai bahwa masyarakat luas diorganisasikan ke dalam jaringan yang secara tak terbatas akan berekspansi dan dapat berinovasi tanpa merusak sistem. Individu dan kelompok diidentifikasi oleh tatanan baru menghadapi masyarakat jaringan baru tersebut. Negara kehilangan kekuasaannya berhadapan dengan pasar kapital global.

Teori-Teori tentang Globalisasi

Berkaitan dengan modernitas, muncul berbagai teori tentang globalisasi. Globalisasi dapat dianalisa secara kultural, ekonomi, politik dan kelembagaan. Dalam tiap kasus, kuncinya adalah pada apakah yang terjadi berupa gejala yang semakin homogen atau semakin heterogen. Globalisasi dari sisi kultur dapat dilihat sebagai difusi dari kode-kode umum dan praktek atau proses dimana input kultural berinteraksi menciptakan suatu hibrid. Pada sisi ekonomi, diyakini yang terjadi adalah suatu dampak yang semakin homogen dari ekonomi pasar. Sementara dari sisi politik dan institusi, tumbuh suatu pemerintahan yang modelnya semakin standar, namun sebagian orang melihat bahwa struktur sosial lokal ikut memberi warna sehingga muncullah perbedaan kehidupan yang semakin terdiferensisasi dibanding sebelumnya.
Dalam menjelaskan globalisasi, Giddens menekankan peran dari Barat dan Amerika dalam proses globalisasi. Ia meyakini bahwa globalisasi memiliki dua sisi yakni baik perusakan (undermined) kultur lokal maupun menghidupkannya kembali (revive). Ia juga melihat adanya konflik fundamentalisme dan kosmopolitanisme.
Sementara, Beck mendefinisikan globalisme sebagai pandangan bahwa dunia didominasi oleh ekonomi dan menyaksikan lahirnya hegemoni pasar dunia yang kapitalis dan ideologi neo liberal. Beck mengkritik konsep ini sebagai sesuatu yang terlalu menyederhanakan dan linier. Ia melihat besarnya jasa (merit) dalam ide tentang globalitas, yang dekat dengan dimana nasionalitas yang semakin lemah karena tumbuhnya aktor-aktor transnasional. Tumbuhnya globalitasi ia lihat sebagai modernitas kedua (second modernity) yang dicirikan oleh tumbuhnya denasionalisasi.
Terakhir, Arjun Appadurai melihat adanya kondisi yang terpisah-pisah antar bagian dalam aliran globalisasi. Ia melihat bahwa pengaruh dan bagaimana kelompok masyarakat merespon globalisasi tidaklah persis sama.

Daftar Pustaka

Ritzer, George. 1996. Sociological Theory. Mc-Graw Hill Publication International. Edisi keempat.